Searching...
Monday, December 1, 2014

Luis dan abel dalam lukisan dan tulisan

Luis dan abel dalam lukisan dan tulisan

pengarang : Drajat Ardawalika

Ia pernah melukis dua wajah di atas
kanvas. Kedua wajah itu diberinya
nama: Luis dan Abel. Dua lukisan wajah
itu terlihat sangat gembira. Suatu
saat, ia merasakan adanya kekurangan
dalam lukisannya. Kemudian ia tambahkan goresan cat di atas
kanvasnya; membentuk sebuah
gambaran menyerupai hati. Namun,
yang terjadi—gambaran hati itu
nampak retak!
Lukisan itu dahulu dipajangnya dalam sebuah kamar. Kini dua wajah dalam
lukisan tersebut tampak murung.
Matanya menjadi sayu, seakan telah
melinangkan literan air dari matanya.
Wajahnya pun menjadi kusut dan
kendur seiring usia yang berlabuh. Debu yang menebal, kian menutupi sebagian
lukisan itu. Sungguh, tiada lagi terlihat
wajah sumringah di dalamnya. Sepetak
taman lengkap dengan ayunan, hijau
dedaunan, serta kebun mawar yang dulu
tampak dalam lukisan itu, kini telah layu dan warnanya pun menjadi redup!
Tiada lagi desah. Tiada lagi tawa yang
membahana.
--
Dahulu dia juga mempunyai sebingkai
cerita, yang selalu dia banggakan—
cerita itu dimuat dalam sebuah harian
surat kabar. Dengan bangga ia
membuatnya menjadi sebuah bingkai—
bingkisan untuk menyatakan perasaan cinta. Bingkai itupun kini telah jadi
bangkai di kamarnya.
Dalam cerita itu dikisahkan: tentang
sebuah perjanjian dan penantian dua
ekor burung merpati putih yang saling
mencinta di pinggir dermaga pelabuhan. Setiap senja kedua burung itu melihat
kapal yang hendak berlayar menuju
suatu tempat. Namun malang nasibnya
—seekor burung jantan itu mati dalam
penantian panjangnya—setiap senja
dia menunggu kekasihnya di dermaga itu—hari demi hari berlalu, musim telah
beralih. Namun merpati betina itu tak
kunjung datang. Entahlah, bagaimana
kabar pejantan itu. Mungkin saja
burung itu mati seiring berita—yang
mengabarkan seratus orang mati karena kerusuhan antar kedua kubu—
di dermaga pelabuhan.
--
Satu minggu yang lalu. Kawan lamaku
bercerita padaku, tentang sebuah
kisah yang cukup menarik sekaligus
mengharukan. Dia berkata: “Dahulu
kakekku sempat bercerita padaku,
ketika aku mulai beranjak dewasa dan mengenal lawan jenis. Kakekku
mengatakan: ‘Jagalah selalu orang yang
kau kasih, sebelum ia terombang-
ambing dalam ganasnya Samodra—
untuk selamanya—meninggalkanmu?!’
Begitu fasih beliau menceritakan semua kisah yang beliau ketahui padaku—
pada cucunya.
Selanjutnya beliau bercerita lagi, kali
ini tentang sebuah negeri yang
terasing: Alkisah, di sebuah negeri
terasing diceritakan; tentang sepasang kekasih yang saling merindu. Mereka
adalah: Luis dan Abel. Luis merupakan
seorang pelukis yang ternama di negeri
itu. Sedangkan Abel…, dia merupakan
seorang penulis wanita yang dikoyak-
koyak oleh pemerintahan. Dia dianggap telah merusak citra negara, karena
Abel telah menulis keburukan-
keburukan para pejabat di negaranya
yang menguntal uang rakyat!
-
Suatu ketika, mereka tidak sengaja
bertemu di sebuah mini bar, di pinggir
kota Agite. Luis memandang Abel
sebagai seorang pelukis—begitupula
sebaliknya—Abel memandang Luis
sebagai seorang penulis. Sesungguhnya, mereka mempunyai rasa yang sama,
sebuah keyakinan daya tarik antara
pria dan wanita. Hal tersebut cukup
nampak dari sorot mata mereka, yang
tidak dapat berbohong pada hati
masing-masing. Meski sorot mata mereka dapat saja berbohong pada
mulut dan telinga mereka.
Keduanya masih saja diam, berpura-
pura menutup mata dan telinganya.
Mungkin saja tabiat mereka
dipengaruhi oleh kultur-kebudayaan di sana. Di kota Agite terjadi pergulatan
sengit antara kaum pelukis dan kaum
penulis. Mereka memiliki argumen
tersendiri mengenai perselisihan
tersebut. Yang jelas kaum pelukis tidak
mau mendekati kaum penulis— begitupun sebaliknya—kaum penulis
tidak akan mendekati kaum pelukis—
meski hanya bersentuhan sekalipun.
Mereka mempunyai paham yang berbeda
akan sebuah konsep nilai kesenian. Di
sana, di sebuah negeri terasing, di pinggir kota Agite.
-
Paham yang mereka anut telah
memberikan sebuah jarak antara Luis
dan Abel. Luis dengan paham para
pelukis, dan Abel dengan paham para
penulis. Mereka memiliki ideologinya
sendiri. Mereka menganggap bahwa kisah cinta yang mereka miliki tak
dapat bersatu, kecuali dengan adanya
suatu keberanian. Ya, sebuah
keberanian untuk menghapus paham
yang memisahkan mereka. Yang
memberi jarak pada mereka. Pagi itu disebuah gang sempit di pinggir
aliran sungai Denim, Luis
merencanakan sebuah pertemuan
dengan Abel. Luis mengirim surat yang
dia tujukan pada Abel. Dalam surat itu
bertuliskan: Kepada: Gadis Penulis.
Wahai gadis penulis, sungguh saya
merasakan ada yang berbeda di sudut
mata anda. Saya merasakan adanya
sebuah janji akan sebuah kisah yang
kelak kan kita rajut. Maka, saya memohon dengan sangat kepada anda.
Datang dan temuilah saya di gang
sempit pinggir aliran sungai Denim sore
ini.
-Luis- Surat itu dia berikan pada seorang
kurir yang cukup dia percaya. Selepas
burung-burung camar memangsa ikan
di pinggir dermaga. Kapal-kapal yang
bersandar di pelabuhan, dan para
buruh pengangut barang yang tengah beristirahat di sebelah gudang.
Akhirnya surat itupun sampai di
tangan Abel. Dia membacanya dengan
perasaan yang berdebar—sebuah
perasaan kagum akan keberanian
seorang Luis. Seorang pelukis ternama di negeri terasing. Seorang pelukis yang
berbeda paham dengannya, memohon
untuk bisa bertemu dengannya.
Bukankah itu suatu keberanian yang
patut dihargai? Abel tidak membalas surat dari Luis.
Namun ia berjanji akan datang
menemui Luis sore nanti. Tepat di gang
sempit pinggir aliran sungai Denim, di
kota Agite, di sebuah Negeri terasing.
Jam empat tepat. Luis telah sampai di tempat yang dia
janjikan. Dia menantikan hadirnya
burung merpati putih yang dia
dambakan. Perasaannya semakin tak
karuan menanti kehadiran sang pujaan
hatinya. Perasaan was-was juga menyelimutinya. Agaknya dia merasa
sedikit risau, apabila dalam
pertemuannya dengan merpati putih
akan berlangsung kacau, karena sebuah
benteng pembatas yang mereka miliki:
sebuah paham ideologi! “Aku benar-benar bosan hidup di negeri
ini! Negeri ini tidak membebaskan
perasaan cinta. Perasaan saling
mengasihi. Negeri ini begitu kejam,
memaksaku tenggelam dalam benteng
ideologi!” Gumam Luis dan Abel dalam hatinya.
Jam empat lebih sembilan menit.
Akhirnya merpati putih itu datang
menepati janjinya. Meski janji itu
hanya diucapkan dalam batinnya
sendiri. “Terimakasih.” Kata Luis padanya.
“Untuk apa?” Ia memberi senyum
padanya, pipinya nampak memerah,
“Aku tidak merasa memberi apapun
pada anda.”
“Terimakasih untuk kedatanganmu. Saya tahu bahwa anda juga menyimpan
bingkisan itu, bukan?”
“Bingkisan?”
“Ya, Bingkisan. Bingkisan dari sudut
mata yang tak bisa saya lupakan.”
Mereka saling memeluk, mencium dengan hangat. Burung-burung camar
menyaksikan sebuah suasana berupa
kehangatan dari cinta mereka. Angin
mendesir, menghantarkan mereka ke
angkasa. Gemericik aliran sungai Denim
semakin mempererat pelukan mereka. Sampai tiba saatnya senja datang.
Mereka berjalan menyusuri sungai
Denim, menuju ke arah barat untuk
sampai di dermaga.
“Mulai sekarang jangan panggil –aku-
dengan sebutan –anda-, atau kata – saya- lebih baik kita ganti menjadi –
sayang-.“
“Baiklah sayang,” kata abel padanya. Mereka kembali memeluk, mencium dan
menghabiskan senja di dermaga
pelabuhan, di kota Agite. Sementara
para pengintai dari kedua kubu –
penulis dan pelukis—saling melihat
mereka. Luis yang sadar dengan keberadaan mereka, memutuskan untuk
membeli tiket pelayaran keluar negeri.
Dia mengajak Abel untuk ikut serta
menuju kepulauan di seberang
negerinya—sebuah negeri terasing. Namun, belum sempat dia membeli tiket
pelayaran, peluru memberondong
mereka. Tubuhnya tertembak peluru
yang menembus dadanya. Peluru itu
menerobos tulang rusuknya, hingga
menjebol jantungnya. Darah berhamburan melumuri baju putihnya.
Abel tak kuasa melihat kekasihnya
jatuh tersungkur berlumuran darah.
Dia mendatangi kubu penulis yang juga
sahabatnya. “Kau begitu Kejam?!”
katanya. Tembakan peluru pun menembus kepalanya, darah
berhamburan. Si penembak yang tak
lain dari kubu pelukis juga banyak yang
mati karena peristiwa itu. Pertemuan
itu berujung maut keduanya, mereka
tak sempat membangun angan-angan tentang sebuah kisah yang telah mereka
rencanakan. Burung-burung camar
bermigrasi, terbang jauh meninggalkan
kehangatan mereka, yang kini telah
menjadi sebuah malapetaka. Peristiwa
di dermaga itu kini menjadi sebuah sejarah yang tidak dapat terlupakan di
kota itu, di kota Agite, di sebuah
Negeri terasing. Sebuah kejadian yang
pernah dikhawatirkan oleh Luis kini
benar-benar terjadi.
--
“Aku dahulu sempat merangkulmu
dengan ketulusan cintaku, menempelkan
pipiku ke pipimu. Aku dahulu juga
sempat mengalungkan perhiasan
berbentuk hati di leher kita, dengan
tujuan: agar cinta kita selalu terkenang. Tapi angin mengibaskan
tanganku dan membuat perhiasan yang
kurangkai menjadi retak. Maafkanlah
aku.” Kata lukisan berwajah Luis
kepada lukisan berwajah Abel dalam
bingkai itu. “Bukan apa-apa, sayang. Aku tahu kau
tidak sengaja. Toh kita masih bisa
bersanding dalam lukisan ini.”
“Maafkan aku juga, sayang,” kata
merpati jantan itu pada merpati
betina, “Angin yang begitu kencang membawaku lebih jauh menuju selatan.
Dan aku telah membiarkanmu jatuh
tersapu ombak lautan”
“Bukan apa-apa, sayang. Aku tahu kau
tidak tahu menahu soal itu. Toh kita
masih bisa bersanding di dermaga surga ini.” Prambanan, 2012.

0 comments:

Post a Comment

 
Back to top!